KEMARAU = KRISIS AIR

6 Komentar

bendung intake Kedungsamak yang sudah mengering

Sudah dua bulan Peniron tak tersiram air hujan. Kering yang semakin tahun kian sulit karena sumber air tak mampu lagi bertahan lama. Inilah barangkali salah satu efek dari pemanasan global yang bahasa keren menurut Kang Naryo dinamai Global Warming.

Entah keberuntungan atau malah kebuntungan, Peniron memang belum masuk dalam peta desa yang rawan kekeringan sehingga belum pernah mendapat bantuan air bersih dari pemerintah. Dalam hal kebutuhan air bersih, Peniron memang belum separah desa sekitarnya seperti Prigi, Watulawang dan desa-desa disebelah utara (kec. Karanggayam).

Tetapi, kondisi terkini selalu jauh lebih buruk dari sebelumnya. Sekarang, ketika kemarau baru jalan 2 bulan, air susah sulit didapat. Sungai-sungai telah kering. Sumur-sumur yang biasanya masih cukup air, harus menunggu penuh untuk bisa disedot dengan pompa.

Imbas pada petani bahkan jauh lebih buruk lagi. Sekarang, sudah sangat susah mencari sumber air untuk menyiram tembakau. Sehingga petani harus rela tidak tidur semalaman hanya untuk menunggui sumber air demi mendapat air.

hamparan padi yang puso

Sebagian petani yang “nekat” menanam padi bahkan harus gigit jari lebih awal. Tanaman padi terpaksa dibiarkan puso karena air sulit didapat. Sebagian yang terpaksa merogoh kocek 15.000 per-jam untuk menyewa mesin pompa pun akhirnya menyerah akibat tak sebandingnya antara biaya dengan hasil. Untuk menyiram petak sawah seluas 50 ubin paling tidak dibutuhkan waktu 10 jam penyiraman dan karena paling tidak harus dilakukan 2 kali penyiraman sampai bisa panen. Disamping mahal, sekarang sudah susah mendapat sumber air, kecuali sawah yang dekat dengan Luk Ulo.

Di daerah “atas” seperti Watucagak, Pranji, Curug dan Silampeng, air telah menjadi barang yang sangat berharga. Sebagai langkah penghematan air, mereka rela jika hanya mandi sekali sehari.

Disamping kebutuhan air, kebutuhan pakan ternak juga menjadi problem rutin jika kemarau. Masyarakat Peniron yang sebagian besar mempunyai ternak harus mencari rumput sampai selatan Kebumen yang berjarak lebih dari sepuluh kilometer. Bahkan demi memenuhi pakan ternak, petani harus mengeluarkan uang ratusan ribu untuk membeli jerami jika sawah-sawah didaerah yang irigasi teknisnya baik mulai panen.

Problem di atas memang tidak hanya terjadi di Peniron, bahkan mungkin ada daerah yang lebih sulit. Tetapi kalau dibiarkan terus menerus, haruskan semua daerah akan menjadi daerah rawan air?

Setiap tahun, pemerintah memang intens membangun sarana air bersih di daerah kering untuk mengurangi krisis air bersih. Tahun inipun Peniron akan dibangun sarana Air bersih melalui program PAMSIMAS. Tetapi sejak disosialisasikan 3 bulan yang lalu, program ini belum terealisasi karena terlalu bertele-telenya mekanisme program ini melalui para fasilitator dan LSM pendamping program. Mungkin program ini akan diluncurkan menunggu puncak kemarau dan akan terisi pada saat hujan. Begitulah, idealisme dan tujuan baik kadang bisa menjadi buruk kala tak menyesuaikan dengan realita.

Lantas, apakah program pembangunan sarana air bersih adalah solusi mengatasi kekeringan? Dalam jangka pendek mungkin iya, tetapi apalah artinya sarana air bersih jika tak ada lagi sumber air?
Maka, mengembalikan sumber-sumber air dengan merehabilitasi rusaknya lingkungan adalah jalan yang harus dilakukan.

Hijaukan Daerah Aliran Sungai, ganti hutan dengan tanaman yang menyimpan air, hijaukan bumi tanpa ada penebangan dan kampanyekan secara terus menerus untuk menyadarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Jika ini serius dilakukan, mungkin bumi akan bersahabat dan sumber air akan menghidupi kita kembali.

Selama ini, belum ada pemimpin yang concern mengenai masalah bumi sebagai program kerja. Keserakahan telah membuat lupa, bahwa kita punya tugas sebagai khalifah menjaga bumi. Penyelamatan bumi baru menjadi ladang pekerjaan para aktifis lingkungan hidup sehingga dibutuhkan kerja ekstra keras karena kita terlanjur busuk dalam memperlakukan bumi ini.. Dan, jangan menjadikan fenomena pemanasan global sebagai penyebab, karena sebenarnya kitalah biang keladinya.

………….Krisis BBM, Krisis Listrik, Krisis Ekonomi, Krisis Moral, Krisis Air, dan entah apalagi….. Ah pusing amat, yang penting mari jaga bumi demi kita dan anak cucu kita!

PROBLEMATIKA PETANI TEMBAKAU

4 Komentar

Tanaman tembakau menjadi komoditi perkebunan pengganti palawija bagi petani Peniron di musim kemarau. Hampir sebagian besar sawah di Peniron yang tadah hujan disulap menjadi ladang tembakau.
Seperti daerah lain, terutama desa-desa di kecamatan Karanggayam seperti Pagebangan, Clapar, Logandu, Kebakalan dan sekitarnya, budidaya tembakau menjadi andalan petani untuk berharap mendapat keuntungan yang besar.
Dari jenisnya, tanaman tembakau di Peniron juga sama seperti daerah di atas, yaitu tembakau dengan daun tebal yang tentu mempunyai kadar nikotin yang cukup tinggi.
Di Peniron ada jenis tembakau yang menjadi primadona dan cukup terkenal dikalangan petani dan tengkulak/pedagang tembakau, yaitu tembakau Kali Keji. Dinamakan demikian karena tembakau jenis ini adalah tembakau yang ditanam disepanjang daerah kali Keji, anak sungai Cungkup.

Bagi penikmat dan pedagang, tembakau dari daerah ini konon mempunyai rasa yang khas dan lebih baik dari daerah lain sehingga harga jualnya pun lebih tinggi. Bahkan untuk mendapat keuntungan yang lebih besar, para juragan tembakau mencampurnya dengan tembakau dari daerah lain seperti dari Karanggayam yang harganya lebih murah.

Bertanam tembakau sebenarnya sangat menguntungkan petani karena harga jual yang didapat cukup tinggi. Seorang petani tembakau Ratim (43 tahun) menuturkan, tahun lalu dari bertanam 400 ubin yang ditanami sekitar 5000 batang, dirinya bisa mendapat uang sekitar 5.000.000,- dari tengkulak tembakau.

Tetapi, ada beberapa kendala yang selalu menghantui petani tembakau Peniron diantaranya :

  1. Kendala permodalan. Bertani tembakau memerlukan perawatan yang ekstra untuk mendapatkan tembakau yang baik. Dengan harga pupuk dan obat pertanian yang mahal tentu sangat memberatkan petani.
  2. Kendala pemasaran. Di Peniron, petani tidak menguasai akses pemasaran sehingga menjadi makanan empuk bagi para tengkulak. Yang lebih tragis, model pembayaran dari tengkulak tidak cash and carry.
  3. Kendala alam. Semakin kurangnya sumber air untnuk merawat tanaman sangat mempengaruhi beratnya menanam tembakau bagi petani. Bahkan, demi mendapatkan air, petani menyirami tanaman pada malam hari. Belum lagi, karena sekarang banyak yang menggunakan pompa air, maka ada biaya tambahan untuk membeli pompa air karena jika tidak menggunakan pompa tidak akan mendapatkan air.
  4. Kendala manajerial. Terutama karena tidak adanya kelompok tani tembakau, maka kendala permodalan dan pemasaran selalu menjadi masalah klasik. Posisi tawar petani yang sangat lemah menjadikan petani tembakau hanya menjadi korban permainan oleh para tengkulak. Perlu ada pendampingan/pembinaan untuk pemberdayaan terhadap petani.

Entah sampai kapan daur ketidakberdayaan ini akan selalu menghantui petani tembakau. Padahal, dengan kualitas tembakau yang baik, seharusnya petani bisa menjadikan posisi tawar tinggi dimata pemilik modal.

Seharusnya, karena di tiap kecamatan ada Petugas Lapangan Pertanian (PPL), masalah seperti ini menjadi ladang garapannya untuk membantu petani lebih berdaya.
Atau mungkin dari pihak Pemerintahan Desa mulai memberi perhatian dengan memfasilitasi kepentingan petani tembakau.

PESTA DITENGAH KRISIS

5 Komentar

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah tahun 2008-2013 akan digelar tanggal 22 Juni 2008. 5 pasang calon pemimpin Jateng bertarung menjadi Jateng 1-2, termasuk Mbak Rustri, Bupati Kebumen yang berduet menjadi calon Wagub dari H. Bibit Waluyo, mantan Pangkostrad.
Ada fenomena baru yang kami tangkap yaitu “pesta demokrasi” yang tinggal 3 hari lagi, tidak menunjukkan situasi akan adanya sebuah pesta. Adem ayem seperti hari-hari biasa. Bahkan, rakyat cenderung acuh. Pilgub hanya menjadi kesibukan “orang penting partai”, tim sukses dan elemen penyelenggara Pilgub. Tak banyak terlihat gambar, poster, spanduk, juga tak banyak hiruk pikuk kampanye terbuka, serta sedikitnya obrolan mengenai Pilgub.
Sebagian besar masyarakat, bahkan aktivis partai-pun menilai bahwa situasi ini sebagai sinyal sebuah kejenuhan masyarakat akibat terlalu seringnya penyelenggaraan pemilihan umum dengan biaya yang besar.

Sebagian lagi menilai, proses Pemilu hanyalah pestanya elite, bukan pestanya rakyat ditingkat grassroot. Opini itu bisa jadi benar ketika sebagian elite dan politikus yang mereka pilih sudah duduk dikursi empuk dengan segala fasilitasnya, perilakunya sangat bertolak belakang dengan ketika kampanye.

Gelaran pesta Pilgub Jateng memang sangat wajar jika ditanggapi dingin oleh rakyat. Ditengah himpitan kesulitan ekonomi akibat dampak naiknya harga BBM, Pemilu tidak lagi menjadi sarana untuk memperjuangkan harapan, tetapi bahkan menjadi ironi karena bagai pesta ditengah krisis.

Maka, jika ada yang memilih GOLPUT ya monggo saja..

PELAKSANAAN SISMIOP

12 Komentar

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Peniron bahkan mungkin juga di desa-desa lain, data mengenai pertanahan masih sangat amburadul. Masih carut marutnya data pertanahan inilah yang kerap menimbulkan masalah, bahkan sering menimbulkan sengketa hanya gara-gara berebut batas tanah.
Dalam masalah pertanahan di Peniron, dari dulu masyarakat diposisikan sangat lemah. Bahkan cenderung hanya menjadi obyek, sama seperti tanah yang menjadi haknya. Dengan hanya berbekal selembar SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), masyarakat seolah hanya menjadi obyek pendapatan bagi negara.

Disamping lemahnya kedudukan masyarakat sebagai wajib pajak dalam hak tanah, sekarang masih banyak SPPT bermasalah. Dari 5 ribuan lembar SPPT di Peniron, masih banyak SPPT yang masih dimiliki generasi pertama, sementara tanah itu sudah dibagi-bagi dan digarap sampai generasi ketiga bahkan keempat. Itu yang kerap memacu konflik keluarga gara-gara masalah tanah. Disamping itu, masih banyak lembar SPPT yang tidak ada obyeknya, disamping puluhan hektar tanah yang telah beralih wilayah karena erosi sungai Luk Ulo.
Lucunya, SPPT-SPPT tak bertuan itu masih menjadi kewajiban masyarakat maupun desa untuk dibayar. Akibatnya, selalu ada tunggakan-tunggakan PBB setiap tahun dan menjadi wanprestasi bagi Pemdes dimata Pemkab.

Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, dalam masa Pemerintahan Triyono Adi sudah diupayakan pendataan ulang dengan pembuatan SPPT massal dengan biaya murah. Pada akhir tahun 2006, hampir 3000 lembar SPPT baru dibuat. Memang, SPPT bukan merupakan bukti kepemilikan sah atas tanah sebagaimana sertifikat, tetapi minimal dengan tertibnya SPPT, maka obyek pajak berupa tanah masyarakat menjadi lebih jelas.

Tahun 2008 ini, usulan untuk pembaruan data pertanahan untuk desa Peniron direalisasikan. Bentuknya adalah pembaharuan data obyek berupa tanah seluruh desa dengan pengukuran ulang kondisi saat ini. Isitilah yang diperkenalkan adalah SISMIOP (Sistem Manajemen dan Informasi Obyek Pajak). Konon, pengukuran seperti ini yang dalam istilah umum disebut ”ricikan” dilakukan terakhir kali di Peniron pada tahun 1942, yang saat ini masih digunakan sebagai peta desa.

Dengan SISMIOP ini, yang kelak akan tercipta peta baru, ada harapan bagi kita untuk memperjuangkan kembali batas-batas desa kita yang hilang. Utamanya tanah desa ber SPPT dan sekarang dikuasai desa lain karena telah beralih akibat erosi sungai.
Mulai Senin, 9 Juni 2008 ini, 4 tim yang dibentuk desa dengan masing-masing beranggotakan 10 orang dan berasal dari seluruh elemen mulai bekerja melakukan pengukuran langsung. Rencananya, tim akan bekerja nonstop selama 150 hari kerja dan diharapkan selesai pada akhir tahun ini.

Pelaksanaan SISMIOP tentu tak lepas dari kendala dan masalah. Utamanya adalah bagaimana seluruh anggota tim punya tanggung jawab terhadap tugasnya. Jika masalah internal seperti ini tidak diperhatikan oleh Kepala Desa selaku penanggung jawab tim, maka rencana yang sangat baik ini justru bisa menjadi bumerang.
Masalah internal itu muncul dari tim itu sendiri, yaitu sikap mental dari sebagian perangkat desa yang harus diakui masih sangat memprihatinkan. Apalagi ada iuran 15.000 per titik tanah yang diukurnya. Kalau kemudian dikalikan 5.000 titik saja, saya amat yakin, iman sebagian anggota tim belum sepenuhnya kuat dan tidak tergoda. Saya sudah membuktikannya di tim inventarisasi dan penataan asset, betapa mentalitas sebagian perangkat memang harus diperbaiki.

Selamat bekerja tim SISMIOP, semoga dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan manfaat sebagaimana tujuannya.

BLT, UNTUK SIAPA?

5 Komentar

Amin Tohari (45 tahun) tetangga saya baru saja pulang dari sawah. Baju lusuh dan peluh yang masih menempel ditubuh kekarnya menandakan dia memang seorang pekerja keras. Toh begitu, wajahnya tak dapat mampu menyembunyikan kegundahannya. Dengan 2 orang anak yang salah satunya sudah di SMP, dia amat gundah dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Berbekal sepetak sawah yang dia jadikan lahan untuk tumpuan hidup, yang hanya bisa untuk bisa bertahan hidup, betapa kenaikan BBM menjadi pukulan yang amat telak buat kehidupannya.

Bagaimana dia bisa bertahan jika sebelum BBM naik saja dia sudah gali lubang tutup lubang untuk makan dan menyekolahkan anaknya? Padahal, tentu kenaikan harga BBM akan dikuti pula kenaikan harga-harga kebutuhan hidupnya yang selama ini saja sudah begitu sulit dia jangkau?

Satu hal lagi yang membuat dia sakit hati, kondisi kehidupannya yang sangat berat tidak lantas menjadikan dia terdaftar sebagai calon penerima BLT, baik tahun lalu dan mungkin diteruskan sekarang. Protes kepada perangkat desa bersama rekan yang senasib dirinya sudah berkali-kali dia layangkan, toh perangkat desa ternyata pun hanya merespon dan tak bisa mewujudkan harapannya agar bisa dicatat sebagai rakyat miskin.
Demikianlah dia berkeluh ketika mampir di teras rumah saya. Dia tak langsung pulang dan lebih memilih menuangkan waktu untuk membagi keluhannya. Memang berat beban yang dia sandang, apalagi ketika pemerintah lagi-lagi menambah kesulitan hidupnya dengan menaikkan harga BBM.
Ah..seandainya pemimpin kita bisa merasakannya..

Lain lagi dengan tetangga saya Natareja (46 tahun). Jika dibandingkan dengan Amin Tohari, kehidupannya jelas jauh lebih baik untuk ukuran desa Peniron. Dengan sawah yang luas dia bisa hidup dengan rumah yang baik bentuk maupun isinya jauh lebih baik dari Amin. Tetapi entah parameter apa yang dipakai pemerintah dalam untuk menentuka kategori ”miskin” sehingga dari dulu tercatat sebagai penerima BLT.
Ketika saya temui, toh tetap saja memgeluh. Bahkan secara jujur dia mengharapkan tak ingin mendapat BLT lagi. Dia yang orang ndeso, petani tulen dan tidak tamat SD dengan tegas mengatakan, BLT tidak menjadikan orang kaya. Justru program pemerintah termasuk menaikkan BBMlah yang membuat banyak rakyat menjadi miskin karena apa-apa jadi mahal. HEBAT!
Orang kecil saja tahu, kenapa orang gede tidak?

Itulah realita yang saya dapatkan, yang saya yakin tidak didapat oleh SBY – JK beserta pembantu-pembantunya. Kalaupun dia mendapat jawaban dari rakyat yang dia temui, saya yakin mereka tidak mendapatkan jawaban yang jujur. Kalaupun dia mendapat laporan dari pembantunya, saya yakin laporan itu hanya ABS semata.

BLT ANTARA PRO DAN KONTRA

Peluncuran program BLT yang menurut Andi Mallarangeng didasari niatan untuk merubah budaya dari subsidi barang ke orang memang menimbulkan banyak ekses. Maka, pendapat pro dan kontrapun muncul. Tetapi pada setiap kesempatan, saya lebih sering mendapatkan tanggapan kontra bahkan sinis tentang program ini.

Jika alasan pemerintah ingin merubah budaya subsidi, maka dengan program BLT pemerintah juga membuat budaya-budaya baru yaitu BUDAYA MALAS, BUDAYA CENGENG dan bahkan BUDAYA PENGEMIS. Bukankan itu sangat kontraproduktif dengan semangat yang dislogankan SBY pada pesta Kebangkitan Indonesia beberapa waktu di Seyanan dengan INDONESIA BISA-nya?

Bagaimana rakyat bisa memahami kalau Indonesia berada dalam krisis ketika masih ada duit yang dibagi-bagi?
Kalau seperti itu, bukankah negara masih punya duit dan tidak perlu menaikkan harga BBM yang berimbas pada naiknya inflasi?

Lantas logika apa yang digunakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan kemudian membagi-bagi duit? Logika politikkah? Atau ingin mempertahankan citra diri ditengah cibiran kegagalan yang ditujukan kepadanya?

Lantas kemana suara wakil rakyat dan partai-partai yang selama kampanye berjanji akan membela kepentingan rakyat? Atau mungkin memang benar bahwa mereka cuma pandai bersilat lidah dan bermain logika. Ataukah mereka takut kelihatan bodonya karena sebenarnya kenaikan BBM adalah hasil persetujuan DPR saat penetapan APBN?

BLT DI PENIRON

Pembagian BLT di Peniron, sama dengan desa-desa lain. Kisruh, semrawut dan asal jalan. Akibatnya, disamping banyak yang tidak tepat sasaran, program ini tidak memberi efek positif bagi masyarakat, bahkan lebih banyak mencatat efek negatif. Tetapi itu bisa dimaklumi karena sepertinya program BLT memang program yang asal jalan.

Dampak negatif dan masalah sosial adanya BLT :

  1. Renggang dan menipisnya budaya/sikap toleransi masyarakat desa, baik antar masyarakat maupun dengan pihak pemerintah desa. Hal ini disebabkan tidak jelasnya kriteria dalam memiskinkan masyarakat sehingga menimbulkan kecemburuan dan ketidakpuasan beberapa pihak.
  2. Tumbuhnya sikap apatis dan menipisnya budaya gotong royong. Carut marutnya BLT disikapi emosional oleh masyarakat dengan sikap apatis dan melunturkan budaya yang amat berharga yaitu enggannya masyarakat untuk melakukan budaya gotong royong. Karena ada anggapan bahwa telah terjadi pilih kasih dalam sensus kemiskinan, maka mereka memprotesnya dengan tidak mau dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pemerintah.
  3. Hilangnya sikap hormat masyarakat desa kepada pemimpin, utamanya perangkat desa. Fenomena Ini tentu sangat berbahaya karena hilangya kewibawaan pemerintah akan sangat mempengaruhi kelancaran program pemerintah.
  4. Renggangnya rasa kekeluargaan sebagai ciri khas masyarakat pedesaan.
USULAN SEBAGAI PENGGANTI BLT

Duit yang dibagi-bagi, bagi para pejabat memang sangat kecil jumlahnya. Tetapi bagi masyarakat desa, uang begitu berharganya. Di Peniron, jika masih menggunakan data lama maka calon penerima sekitar 680 orang. Jika dikalikan Rp. 100.000,- per-bulan maka ada 68.000.000,- yang masuk ke Peniron. Jika BLT dibagikan setiap 3 bulan, maka setiap triwulan akan masuk dana 204.000.000,-, jika dalam satu tahun berarti Rp. 816.000.000,-

Peniron, yang masih membutuhkan infrastruktur peningkatan ekonomi, uang sebesar itu akan sangat berarti jika dialokasikan untuk peningkatan ekonomi baik sarana maupun SDM.

Ilustrasi dan mimpi:

  • Jika dana BLT dibelanjakan ternak sapi, maka dalam 3 bulan bisa didapat 40an ekor sapi @ 5 jutaan dan dalam 1 tahun akan ada 160 ekor sapi. Dengan adanya sapi, maka akan mudah dibentuk kelompok ternak dan dengan adanya kelompok ternak akan mudah dilakukan penyuluhan mengenai agrobisnis, pengelolaan lingkungan dan cara beternak yang baik. Dengan kelompok ternak serta peningkatan SDM karena intensnya penyuluhan, maka akan mudah membentuk koperasi. Jika ada koperasi maju, bukankah tidak hanya usaha ternak aygn dikembangkan, tetapi juga usaha pendukung lainnya seperti usaha pakan, usaha jual beli sapi, usaha jagal, usaha kompos dan lain-lain?
    Jika dikelola dengan baik, silahkan hitung keuntungan multiplier dari model seperti ini.
  • Jikalau duit BLT tidak semata-mata dibagi-bagi, tetapi diberikan dengan model Padat Karya seperti jaman Orde Baru, maka masyarakat dengan kriteria miskin bisa bekerja untuk mendapatkan uang. Dengan bekerja sebenarnya mereka tetap memegang filosofi nenek moyangnya yaitu ”pangan ora temumpang lambe, tapi pangan temumpang gawe”. Dengan itu, maka akan rakyat akan terjaga dari rasa malas dan cengeng ditengah kesulitan hidup yang diciptakan pemerintahnya.

Di samping itu, bukankah kerja dari masyarakat miskin dengan bentuk padat karya akan menciptakan infrastruktur untuk menunjang aktifitas ekonomi yang tidak hanya bisa dinikmati oleh mereka yang miskin? Dan dengan itu, akan terjaga perilaku ”melu handarbeni” terhadap sarana umum itu itu bersama-sama.

Minimal, jika pemerintah desa boleh diberi keleluasaan dalam mengelola dana itu, tentu akan lebih tepat pada sasarannya. …tapi jangan-jangan jadi lahan korupsi baru?..

Ataukah lebih baik dana itu bisa dibebaskan untuk dikelola oleh masyarakat untuk apa saja? Itu sekilas sebagai gambaran, kenapa pemerintah tidak mengalihkan saja model BLT ini dengan program yang jelas-jelas lebih memberdayakan masyarakat.

Sekarang jika jelas-jelas BLT bukan program yang pro rakyat, dan justru hanya menciptakan kebodohan dan kemiskinan yang merupakan faktor terpuruknya bangsa ini, kenapa tidak kita tolak? Lantas kapan kita bisa ternetas dari krisis jika kita justru semakin dimiskinkan dan dibodohi?

Maka kita tunggu sikap pemerintah desa Peniron untuk merespon BLT ini? Beranikah mereka menolaknya atau mengalihkan untuk kegiatan yang lebih memberdayakan? Atau minimal mengkampanyekan pemahaman ke masyarakat, bahwa BLT tidak akan membuat kaya dan tidak menolong mereka dari kesulitan karena TIDAK MAMPUnya Menteri Perdagangan dalam menurunkan harga-harga.. (berdasarkan pengakuannya di iklan tv lho)

Ah..saya pesimis karena Bupati bahkan Gubernur saja tidak berani menolaknya…

1 ABAD KEBANGKITAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF WONG NDESO

2 Komentar

Tanggal 20 Mei tahun ini tepat 100 tahun Boedi Oetomo didirikan, yang akhirnya ditetapkan sebagai hari kebangkitan nasional. seperti lazimnya, hari nasional selalu diperingati dengan banyak acara yang kadang lebih sebagai seremoni belaka. Yang menjadi lagu wajib pasti pasang spanduk dengan slogan yang dari dulu ya itu-itu saja, kemudian upacara, pidato, resepsi dll. Habis itu ya selesai, kembali semula dan menunggu untuk upacara berikutnya. Besoknya ya begitu lagi. Tidak ada inovasi. Seperti tahun ini, katanya di Jakarta akan digelar peringatan khusus dengan dana khusus yang konon dijanjikan akan menyuguhkan atraksi-atraksi kolosal.
Peniron, karena letaknya yang jauh dari pejabat dan politikus, jauh dari pusat perputaran duit, mungkin tak lebih dari 20% yang ingat kalau Indonesia ini sudah bangkit 100 tahun yang lalu. Bahkan kalau beritahupun kayaknya banyak yang tak peduli karena bagi mereka urusan upacara, pidato, slogan, resepsi bukanlah budaya mereka.
Mereka pasti lebih berpikir bagaimana bisa membeli pupuk yang sudah mahal tapi masih langka pula, bagaimana bisa bertahan hidup dalam situasi yang serba susah dan mahal tetapi konon harga BBM malah akan dinaikkan.

Bahkan kalau orang ndesa dikasih tau kalau mereka yang di kota mengadakan ”pesta” dengan acara yang gemerlap karena memperingati kebangkitan Indonesia yang sudah 100 tahun, masyarakat Peniron bisa makin tidak “mudeng”.
Lha apanya yang bangkit? Lha kalo sudah 100 tahun tetapi situasinya masih saja susah, untuk apa diperingati dengan pesta pora? Bahkan katanya orang-orang kaya yang konvoi dengan motor gede, yang menggelar konvoi sehingga -menghabiskan BBM dikala rakyat dianjurkan untuk menghemat BBM dan menurunnya daya beli karena BBM- juga dalam rangka memperingati kebangkitan Indonesia? Lha daripada BBM diabrul-abrul, kan lebih baik disumbangkan pada kami untuk beli pupuk?

Ah pejabat dan orang-orang gede yang diatas memang tak pernah memahami kami. Apa mereka ndak malu karena 100 tahun yang mereka peringati itu ternyata negara kita tidak semakin baik? Dimana korupsi telah membangkrutkan negeri, hutan dibabat, dan penuhnya negara ini oleh janji dan kata palsu, penuh orang-orang munafik. Lantas mau dikemanakan cita-cita Boedi Oetomo untuk membuat prieboemi ini maju, kemana cita-cita kemerdekaan yang mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial?

Sejak reformasi, yang katanya dalam rangka perubahan ke arah yang lebih baik, nyatanya sekarang negeri ini malah dikuasai oleh politisi-politisi yang menyebalkan, bahkan memuakkan! Yang hanya manis saat kampanye, tetapi setelah itu hanya sibuk menjadi makelar dan tikus kapitalis.

Partai yang menjamur, yang katanya sebagai salah satu indikator sukses demokratisasi, yang katanya untuk agen pendidikan politik, mendorong civil society, masyarakat madani, ternyata partai hanya berorientasi pada kekuasaan. Bahkan partai seperti menjadi benalu bagi 100 tahun kebangkitan negeri ini.

Haruskah bangsa ini butuh suplemen semacam IREX agar bisa bangkit? Wow.. Suplemen itu bukankah sudah lama kita lakukan dengan melakukan kebijakan untuk negara ini maju secara instan? Akibatnya, bukankah ternyata pondasi ekonomi, sosial, politik dan mentalitas kita begitu bobroknya sehingga kita terjerembab dalam krisis yang tak kunjung usai?

Alangkah indahnya, seandainya 1 abad kebangkitan nasional ini kita jadikan momentum untuk benar-benar bangkit dan bukan dengan slogan dan bualan. Momen untuk melakukan refleksi dan otokritik setelah sekian lamanya bangsa ini tak kuasa bangkit.
Cara yang efektif adalah kemauan pejabat publik melakukan revolusi sosial dengan tobat massal dan menunjukkan tingkah laku untuk cermin keteladanan.
Kongkritnya, mulailah dari pejabat beralih naik angkutan umum untuk mengatasi kemacetan, mulailah dari pejabat menggunakan sepeda untuk menghemat BBM, mulailah dari pejabat menjadi contoh perlawanan terhadap korupsi, mulailah pejabat berperilaku disiplin dll.

Kalau pejabat publik berani memberi keteladanan untuk melakukan revolusi perilaku, maka rakyat pasti akan melakukan hal yang sama.
Ayo, jangan bangun bangsa ini dengan seremonial, slogan, jargon dan omong kosong. Mulailah dengan keteladanan dan langkah nyata untuk kebangkitan bangsa ini.

MENGGUGAT KETIDAKADILAN

6 Komentar

Ketika tadi pagi saya membaca artikel terbaru tentang resahnya warga desa Seling di situs Pemkab Kebumen, alangkah resahnya saya. Keresahan ini saya yakini juga akan dirasakan oleh banyak warga Peniron jika mereka juga membaca tulisan di situsnya Pemda Kebumen itu. Keresahan yang jauh lebih banyak jumlahnya dibanding jumlah warga desa Seling yang resah karena pemukimannya terancam oleh erosi kali Luk Ulo.

Bagi warga Peniron, yang hidup dengan mengandalkan penghidupan dari sepetak sawah, tetapi sudah bertahun-tahun tanah kami yang berpuluh-puluh hektar terkena erosi. Dan karena erosi, sekarang posisi tanah itu menjadi wilayah desa Seling, maka warga Seling mendapatkan dan menggarap tanah yang itu dengan gratis.
Sementara kami setiap tahun selalu dikenai kewajiban pajak bumi oleh negara atas tanah itu. Entah sudah berapa ratus ribu pajak yang kami bayar tanpa kami menggarap tanah itu, dan bahkan entah berapa juta desa kami harus terus nomboki PBB dari tanah yang telah berubah menjadi lahan hidup warga Seling itu.
Semua kami lakukan karena kami selalu berharap, ada masanya kami mendapatkan keadilan dengan mendapatkan apa yang semestinya menjadi hak kami.

Erosi Luk Ulo memang telah membuat hubungan kami dan sebagian warga Seling menjadi sering bersitegang. Tanah telah menjadikan sebagian warga desa yang santun menjadi tamak dan serakah. Tanah gratis telah menjadikan sebagian warga Seling, yang sebenarnya masih saudara menjadi seperti kehilangan hati nurani.

Bahkan karena ketidakberdayaan, kebingungan atau mungkin bahkan kebodohan, sekitar tahun 2001 karena persoalan lain, kemarahan warga Peniron diluapkan dengan merusak lahan-lahan di Seling yang sebenarnya lebih adil menjadi miliknya.

Toh Pemerintah tidak pernah mau tahu, walaupun berkali-kali kami berteriak dan memberi sinyal adanya ketidakadilan.

Yang mengagetkan kami, awal Mei yang lalu diadakan sosialisasi dari Satker Non Vertikal Tertentu Pro Bo Lo, bahwa seluruh tanah yang dianggap sebagai endapan adalah milik dinas Pengairan. Bagaimana jika seluruh tanah kami hilang terkena erosi?
Akankah kami menjadi lebih miskin karena kehilangan ladang pangan kami? Bagaimana jika seluruh Peniron beralih ke seberang sungai? Akankah desa Peniron tinggal sejarah? Dengan itu, bukankah secara normatif kami telah dirampas haknya oleh negara? Lantas apa gunanya dibuat aturan negara jika tidak menciptakan keadilan?

Tetapi insyaAlloh, jika itu aturan negara, kami akan patuhi. Tetapi tuntutan keadilan akan selalu kami perjuangkan. Entah apapun resikonya, kami akan kibarkan perlawanan jikalau kami selalu terdzolimi.

Hari Senin yang lalu, telah diadakan pertemuan antara Kepala Desa Seling dan Peniron di Kantor Satpol PP. Menurut Bapak Triyono Adi Kades Peniron, kades Seling juga satu paham untuk menyelesaikan permasalahan tanah ini dengan kekeluargaan. Opsi yang akan dilakukan adalah : 1. Diadakan pertemuan antara Peniron dan Seling untuk mencari solusi terbaik. 2. Solusi terbaik adalah : a. Membuat sudetan sesuai batas desa asli dan mengembalikan sungai pada posisi semula, atau b. menetapkan batas desa tanpa sudetan sesuai batas asli terdahulu, sehingga dimanapun tanah itu, penggarap yang sah menjadi proiritas.

Lantas, apa hubungan keresahan kami dengan artikel di situs Kebumen? Jawabannya, setiap kami mendengar apapun mengenai tanah kami yang sekarang digarap warga Seling, kami selalu resah. Akankah tanah kami yang sudah berpuluh tahun hilang akhirnya terampas?

Jika warga Seling resah karena rumah mereka terancam erosi, tidakkah mereka juga merasakan resahnya perasaan kami, yang berpuluh-puluh tanahnya mereka nikmati dengan cuma-cuma?

Kami memang selalu mengusahakan agar ada jalan damai untuk menyelesaikan masalah ini dengan desa Seling. Demi hak kami dan warga Peniron, kami berusaha mendapatkan tanah itu kembali dengan cara elegan, tidak dengan cara yang dibenci Tuhan.
Mudah-mudahan warga Seling bisa menerima tawaran kami dengan nurani. Jika jalan damai tak mendapat respon baik dari warga Seling, mudah-mudahan pemerintah bisa memposisikan diri sebagai mediator dan pengadil.

Mudah-mudahan ada tambahan kesabaran dan kekuatan untuk kami memperjuangkan hak warga kami yang terampas. Jikapun akhirnya ikhtiar damai kami gagal, mungkin dengan amat terpaksa kami menyerahkan opsi lain kepada masyarakat.
Mudah-mudahan pihak terkait tidak menutup mata dan nurani terhadap persoalan ini, karena menjadi tanggung jawab negara jika rakyat emosional karena rasa keadilannya terampas dan terkoyak.
Bukankah pepatah mengatakan ”cacingpun akan menggeliat jika terinjak?”

Kepada seluruh masyarakat Peniron, jangan hanya menjadi penonton… Karena Andalah subyek yang sebenar-benarnya.

….Mudah-mudahan besok situs Kebumen akan gantian mengangkat keresahan kami…

Newer Entries